Sabtu, 21 Maret 2015

Tak Uang maka Tak Sayang


             Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang biasa kita sebut KKN sudah tidak tabu lagi di kehidupan masyarakat Indonesia. Tetapi, banyak juga kasus-kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang berhasil di tangani oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seperti kasus suap Akil Mochtar, kasus dinasti Ratu Atut Chosiyah, dan masih banyak yang lainnya.
Kasus-kasus yang disebutkan di atas adalah contoh kasus KKN yang dampaknya sangat terlihat jelas dan tentunya banyak merugikan rakyat dan negara. Kasus tersebut termasuk kasus-kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang besar di Indonesia.
            Dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menegaskan bahwa “ Penyelenggara Negara yang bersih adalah penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan tercela lainnya “.
            Selanjutnya, Pasal 5 ayat 4 menyatakan bahwa “setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme”. Adapun sanksi dari pelanggaran ketentuan Pasal 5 ayat 4 tersebut diatur pada Pasal 20 ayat (2) yang berbunyi “Setiap Penyenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Lain halnya untuk kasus yang seperti ini. Penanganan masih belum di lakukan untuk kasus-kasus yang masih di anggap sepele dan sudah menjadi rahasia umum di kehidupan masyarakat Indonesia, misalnya kasus dalam penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau penerimaan siswa/mahasiwa baru.
Dalam kasus ini, yang menjadi korban pelaku KKN biasanya adalah orang-orang yang tidak mempunyai uang suap ataupun tidak mempunyai keluarga yang bisa melakukan nepotisme. Misalnya, seorang calon Pegawai Negeri Sipil lolos tes dengan murni karena kemampuan yang di milikinya. Tetapi, ia bisa di lengserkan dan tidak mendapatkan tempat karena ada CPNS lain yang mengambil posisinya dengan cara menyuap maupun nepotisme.
Tidak hanya kasus CPNS yang menjadi sasaran empuk KKN, tetapi banyak juga kasus lain kurang lebih seperti itu yang merugikan pihak yang berhak dan hal itu tetap di biarkan bahkan mungkin sampai sekarang masih tetap berlangsung.
“Tak uang maka tak sayang” itulah kalimat yang bisa di gambarkan saat ini. Semua orang memang butuh uang, sehingga cara-cara yang tidak halal seperti ini pun sudah lumrah di lakukan. Hedonisme sudah berakar di kehidupan kita yang menyebabkan hal-hal tersebut terjadi.
Kesenangan akan duniawi sudah menjadi prioritas utama kebanyakan orang dan tidak lagi memikirkan dampak yang akan di timbulkan. Akibatnya, timbul berbagai persoalan yang merugikan seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Apakah ‘budaya’ semacam itu harus terus di pertahankan? Di manakah keadilan yang seharusnya menjadi hak kita? Bagaimana dampak yang akan terjadi jika penerus-penerus bangsa di hasilkan dari cara-cara yang tidak adil seperti itu?
Jika hal tersebut tetap di terapkan, untuk apa ada seleksi? Untuk apa ada tes? Apakah itu hanya di buat untuk formalitas semata? Tidak. Keadilan harus tegakkan. Seleksi yang di lakukan misalnya untuk CPNS seharusnya bukan untuk formalitas saja tetapi memang untuk mencari orang-orang yang berpotensi.
Dapat kita bayangkan bagaimana masa depan bangsa ini jika hal tersebut terus berlangsung. Orang-orang berpotensi yang seharusnya bisa memajukan negara ini tidak mendapat peluang dan akhirnya perkembangan negara hanya di situ-situ saja atau bahkan berkemungkinan menjadi lebih buruk dari apa yang kita harapkan.

Kapan pemerintah ada waktu untuk memperhatikan hal-hal kecil yang berdampak besar seperti ini? Mengambil hak orang lain adalah suatu bentuk kejahatan apalagi dengan cara curang seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sampai kapan hal bodoh seperti ini terus berlangsung? Sampai kapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar