Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme yang biasa kita sebut KKN sudah tidak tabu lagi di
kehidupan masyarakat Indonesia. Tetapi, banyak juga kasus-kasus Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme yang berhasil di tangani oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
seperti kasus suap Akil Mochtar, kasus dinasti Ratu Atut Chosiyah, dan masih
banyak yang lainnya.
Kasus-kasus yang disebutkan di atas adalah contoh kasus KKN
yang dampaknya sangat terlihat jelas dan tentunya banyak merugikan rakyat dan
negara. Kasus tersebut termasuk kasus-kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang
besar di Indonesia.
Dalam
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menegaskan bahwa “ Penyelenggara Negara yang
bersih adalah penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan
negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan tercela
lainnya “.
Selanjutnya, Pasal 5 ayat 4
menyatakan bahwa “setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak
melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme”. Adapun sanksi dari
pelanggaran ketentuan Pasal 5 ayat 4 tersebut diatur pada Pasal 20 ayat (2)
yang berbunyi “Setiap Penyenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi
perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Lain halnya untuk kasus yang seperti ini. Penanganan masih
belum di lakukan untuk kasus-kasus yang masih di anggap sepele dan sudah
menjadi rahasia umum di kehidupan masyarakat Indonesia, misalnya kasus dalam
penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau penerimaan siswa/mahasiwa baru.
Dalam kasus ini, yang menjadi korban pelaku KKN biasanya
adalah orang-orang yang tidak mempunyai uang suap ataupun tidak mempunyai
keluarga yang bisa melakukan nepotisme. Misalnya, seorang calon Pegawai Negeri
Sipil lolos tes dengan murni karena kemampuan yang di milikinya. Tetapi, ia
bisa di lengserkan dan tidak mendapatkan tempat karena ada CPNS lain yang
mengambil posisinya dengan cara menyuap maupun nepotisme.
Tidak hanya kasus CPNS yang menjadi sasaran empuk KKN, tetapi
banyak juga kasus lain kurang lebih seperti itu yang merugikan pihak yang
berhak dan hal itu tetap di biarkan bahkan mungkin sampai sekarang masih tetap
berlangsung.
“Tak uang maka tak sayang” itulah kalimat yang bisa di
gambarkan saat ini. Semua orang memang butuh uang, sehingga cara-cara yang
tidak halal seperti ini pun sudah lumrah di lakukan. Hedonisme sudah berakar di
kehidupan kita yang menyebabkan hal-hal tersebut terjadi.
Kesenangan akan duniawi sudah menjadi prioritas utama
kebanyakan orang dan tidak lagi memikirkan dampak yang akan di timbulkan.
Akibatnya, timbul berbagai persoalan yang merugikan seperti Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme.
Apakah ‘budaya’ semacam itu harus terus di pertahankan? Di
manakah keadilan yang seharusnya menjadi hak kita? Bagaimana dampak yang akan
terjadi jika penerus-penerus bangsa di hasilkan dari cara-cara yang tidak adil
seperti itu?
Jika hal tersebut tetap di terapkan, untuk apa ada seleksi?
Untuk apa ada tes? Apakah itu hanya di buat untuk formalitas semata? Tidak.
Keadilan harus tegakkan. Seleksi yang di lakukan misalnya untuk CPNS seharusnya
bukan untuk formalitas saja tetapi memang untuk mencari orang-orang yang
berpotensi.
Dapat kita bayangkan bagaimana masa depan bangsa ini jika hal
tersebut terus berlangsung. Orang-orang berpotensi yang seharusnya bisa
memajukan negara ini tidak mendapat peluang dan akhirnya perkembangan negara
hanya di situ-situ saja atau bahkan berkemungkinan menjadi lebih buruk dari apa
yang kita harapkan.
Kapan pemerintah ada waktu untuk memperhatikan hal-hal kecil
yang berdampak besar seperti ini? Mengambil hak orang lain adalah suatu bentuk
kejahatan apalagi dengan cara curang seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Sampai kapan hal bodoh seperti ini terus berlangsung? Sampai kapan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar