Tak
ada yang salah dari kami berdua, kami hanya sepasang sahabat yang bisa dibilang
sangat dekat. Aku bernama Mega dan sahabatku bernama Dido. Kami menjalin
persahabatan dari mulai masih di Taman Kanak-Kanak hingga kami duduk di bangku
perkuliahan. Kebetulan orang tua kami juga berteman dan rumah kami saling
berdekatan.
Aku merupakan anak tunggal dan Dido
adalah anak bungsu dari 2 bersaudara. Dido sudah seperti bagian dari hidupku.
Dia yang sedari kecil menemani hari-hariku hingga kami dewasa. Dido bukan hanya
sekedar teman, tetapi dia juga sebagai sahabat dan kakak bagiku. Masa-masa yang
kami lewati bersama sungguh membahagiakan.
Pada
masa-masa SMA, aku dan Dido berjanji tidak akan pacaran dan fokus belajar sampai
toga berada di atas kepala kami. Tetapi aku sempat melanggar janji itu. Aku
menyukai seorang kakak tingkatku yang merupakan Wakil Ketua OSIS. Tidak
beberapa lama, akupun menjalin hubungan dengan pria tersebut yang bernama Gerry
tanpa sepengetahuan Dido.
Mungkin Gerry adalah cinta
pertamaku. Pendekatanku dan Gerry berlangsung singkat. Aku mengetahui dari
ceritanya, bahwa ia memiliki masa lalu yang buruk dalam percintaan. Gerry
diduakan oleh mantan kekasihnya ketika hubungan mereka sudah berjalan cukup
lama. Aku mulai yakin Gerry adalah orang yang tepat bagiku. Hubungan kami
berlangsung lama hingga duduk di bangku perkuliahan.
Semenjak menjalin hubungan dengan Gerry,
aku jarang lagi bertemu Dido. Dia yang selalu menanyakan kabarku hingga datang
ke rumah ku jawab dengan acuh tak acuh. Banyak alasan yang kulontarkan agar Dido
tidak bisa menemuiku, tetapi dia tidak pernah marah dan mencoba untuk tetap
menemuiku di lain waktu.
Berawal dari ketika Gerry lulus SMA.
Ia memilih untuk melanjutkan studinya ke Bandung dan aku masih tetap di
Yogyakarta. Masalah demi masalah terjadi tetapi aku tetap bertahan. Aku hanya
memendamnya sendiri karena hanya Mido yang selama ini bersedia mendengarkan
keluh kesahku.
Semua
terungkap ketika teman SMA-ku yang kuliah di Bandung memberitahu bahwa dia
melihat Gerry jalan dengan perempuan lain yang bukan lain adalah mantan
terindahnya yang pernah di ceritakan waktu itu. Seketika hatiku hancur, orang
yang kupercaya selama ini menjadi cinta pertamaku dengan mudahnya meremuk
redamkan hati ini.
Aku
yang tidak tahu harus kemana dan harus berbuat apa lagi terpaksa mengakui hal
tersebut kepada Dido. Dido sudah menyangka hal ini pasti terjadi, dia sudah
mengira tidak mungkin aku menjauhinya jika tidak ada “teman spesial” lain. Aku
meminta maaf kepada Dido karena telah menjauhinya dan melanggar janji kami.
“Kan
sudah aku bilang jangan pacaran dulu, gini kan jadinya!” itu adalah kata-kata
yang pertama kali Dido ucapkan, layaknya seorang kakak memarahi adiknya. Aku
tidak sakit hati mendengar ucapannya. Dido begitu karna dia perduli kepadaku
dan dia menyayangiku layaknya seorang adik sekaligus sahabatnya.
Semenjak
saat itu, tidak ada lagi yang aku rahasiakan kepada Dido, begitupun sebaliknya.
Tak ada percintaan dalam hidupku sebelum aku menyelesaikan studi sesuai
perjanjian kami. Bisa dibilang, kami berdua memegang predikat jomblo. Dia
pernah bercerita bahwa ada seorang perempuan yang nekad menyatakan cinta dan Dido
menolaknya karna ia menjaga 1 komitmen. Aku sangat bangga mempunyai sahabat
seperti dia.
Kehidupan
persahabatan kami terus berlangsung. Aku dan Dido masuk ke Universitas yang
sama tetapi beda jurusan. Aku sering mengeluh kepada Dido mengenai tugas-tugas
dan ujianku di kampus. Terlebih lagi aku yang memiliki daya tahan tubuh yang
lemah tetap bersikeras untuk masuk jurusan Teknik walaupun kadang-kadang ada
beberapa praktek yang menguras habis stamina dan membuat fisikku drop.
Beruntungnya
aku memiliki seorang sahabat seperti Dido. Dia
yang selalu menyemangati hari-hariku. “Kamu yang sabar yang kuat ya, aku
bakal dampingi kamu sampai toga ada di atas kepala kita dan aku akan duduk di
sebelah kamu. I am promise!” adalah
kata-kata Dido yang berulang-ulang ia ucapkan untuk menyemangati aku.
Hari
demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun kami lewati. Hingga pada
akhirnya masuk tahun ke empat di mana tahun itu adalah tahun untuk kami
menyelesaikan studi Strata-1 dan sebentar lagi kami akan wisuda. Aku dan Dido
sangat menanti-nantikan tahun itu sehingga kami semangat untuk segera menyelesaikan
Kerja Praktek dan Tugas Akhir.
Semua
tugas telah terselesaikan tepat waktu dan tinggal menunggu upacara wisuda.
Tetapi sebulan sebelum menjelang upacara wisuda, Dido memberitahuku bahwa ia
harus ke Jakarta untuk memenuhi panggilan kerja di suatu perusahaan asing.
Dengan berat hati aku melepas kepergian Dido, walaupun hanya dalam waktu 1
minggu. Kami tidak pernah berpisah jarak lebih dari 3 hari.
Seminggu
telah berlalu dan aku menunggu kepulangan Dido ke Yogyakarta. Aku ingin
mendengar ceritanya ketika ia berada di Jakarta dan apa saja pengalaman yang ia
dapatkan. Sebenarnya bukan itu saja, aku menunggu Dido karena aku
merindukannya, merindukan sahabat kecilku.
Siang
telah berganti malam dan Dido belum juga memberiku kabar. Seharusnya dia sudah sampai
sejak siang tadi. Aku terus memegang handphone
untuk menanyakan kabarnya. Lalu beberapa saat kemudian, handphone-ku berdering dan panggilan
yang masuk itu bukan dari Dido tetapi dari ibunya.
Ibunya
memberitahuku bahwa Dido mengalami kecelakaan di Bandung ketika menuju
Yogyakarta karna ia menggunakan jalur darat. Aku terbungkam dan tak bisa
berkata apa-apa. Aku beserta orang tuaku memesan tiket malam itu juga dan
langsung berangkat ke Bandung. Aku tidak dapat menahan air mata dan perasaanku
bercampur aduk.
Seketika
tiba di Rumah Sakit, semua keluarga sudah berkumpul dan banyak yang menangis.
Ibu Dido terlihat lemas dan tidak dapat berdiri. Apa yang terjadi? Aku langsung
masuk ke ruang ICU, ruang yang menangani Dido dan aku sudah melihat dia
terbaring tanpa hembusan napas lagi.
Aku
merasa dunia seakan berhenti berputar. Mengapa Dido pergi secepat ini? Dia
sudah berjanji akan mendampingiku dan duduk di sampingku ketika toga ada di
kepala kami. Itu tinggal beberapa minggu lagi. Dido tolong pulang, wisuda kita
sudah di depan mata. Aku cuma mau kamu yang duduk di sampingku nanti.
Hari
yang kami tunggu-tunggu pun tiba. Aku memakai rapi semua pakaianku layaknya
seseorang yang akan di wisuda. Tetapi yang pasti, tak ada Dido di sampingku dan
mengisi hari-hariku lagi. Aku ditemani kedua orang tuaku dan kedua orang tua
Dido. Aku sedih karna tidak bisa menikmati kebahagiaan ini bersama dia.
Seusai
acara, ibu Dido memberikan sepucuk surat yang katanya tergeletak di tempat
tidur Mido. Isi suratnya “Happy
Graduations, Mega. Sekarang kita udah
wisuda dan sekarang kita udah boleh
melepas masa-masa jomblo kita. Makasih ya karna kamu udah nepatin janji dan sekarang waktunya buat aku ngungkapin perasaan aku ke kamu.
Sebenarnya, aku sayang banget sama
kamu, aku pengen kita lebih dari
sepasang sahabat. Tapi aku gak maksa buat bisa lebih, aku harap kamu gak berubah ya. Maaf, aku cuma berani ngungkapin lewat surat. Sekali lagi, Happy graduations and I love you. DIDO”
Mungkin
itu adalah surat cinta dari Dido untukku yang belum tersampaikan. Aku sedih
karna aku tak bisa lagi melihat senyumnya, bercanda gurau dengannya, tetapi aku
yakin Dido bahagia di sana. Rezeki, jodoh, dan maut semua sudah di atur Tuhan
hingga indah pada waktunya. Aku yakin itu. Untuk sahabat kecilku, terima kasih
sudah menemaniku selama ini dan sudah memberikanku cinta dari seorang sahabat.
Dido, aku merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar