Sabtu, 21 Maret 2015

Sahabat Kecilku

         Tak ada yang salah dari kami berdua, kami hanya sepasang sahabat yang bisa dibilang sangat dekat. Aku bernama Mega dan sahabatku bernama Dido. Kami menjalin persahabatan dari mulai masih di Taman Kanak-Kanak hingga kami duduk di bangku perkuliahan. Kebetulan orang tua kami juga berteman dan rumah kami saling berdekatan.
            Aku merupakan anak tunggal dan Dido adalah anak bungsu dari 2 bersaudara. Dido sudah seperti bagian dari hidupku. Dia yang sedari kecil menemani hari-hariku hingga kami dewasa. Dido bukan hanya sekedar teman, tetapi dia juga sebagai sahabat dan kakak bagiku. Masa-masa yang kami lewati bersama sungguh membahagiakan.
Pada masa-masa SMA, aku dan Dido berjanji tidak akan pacaran dan fokus belajar sampai toga berada di atas kepala kami. Tetapi aku sempat melanggar janji itu. Aku menyukai seorang kakak tingkatku yang merupakan Wakil Ketua OSIS. Tidak beberapa lama, akupun menjalin hubungan dengan pria tersebut yang bernama Gerry tanpa sepengetahuan Dido.
            Mungkin Gerry adalah cinta pertamaku. Pendekatanku dan Gerry berlangsung singkat. Aku mengetahui dari ceritanya, bahwa ia memiliki masa lalu yang buruk dalam percintaan. Gerry diduakan oleh mantan kekasihnya ketika hubungan mereka sudah berjalan cukup lama. Aku mulai yakin Gerry adalah orang yang tepat bagiku. Hubungan kami berlangsung lama hingga duduk di bangku perkuliahan.
            Semenjak menjalin hubungan dengan Gerry, aku jarang lagi bertemu Dido. Dia yang selalu menanyakan kabarku hingga datang ke rumah ku jawab dengan acuh tak acuh. Banyak alasan yang kulontarkan agar Dido tidak bisa menemuiku, tetapi dia tidak pernah marah dan mencoba untuk tetap menemuiku di lain waktu.
            Berawal dari ketika Gerry lulus SMA. Ia memilih untuk melanjutkan studinya ke Bandung dan aku masih tetap di Yogyakarta. Masalah demi masalah terjadi tetapi aku tetap bertahan. Aku hanya memendamnya sendiri karena hanya Mido yang selama ini bersedia mendengarkan keluh kesahku.
Semua terungkap ketika teman SMA-ku yang kuliah di Bandung memberitahu bahwa dia melihat Gerry jalan dengan perempuan lain yang bukan lain adalah mantan terindahnya yang pernah di ceritakan waktu itu. Seketika hatiku hancur, orang yang kupercaya selama ini menjadi cinta pertamaku dengan mudahnya meremuk redamkan hati ini.
Aku yang tidak tahu harus kemana dan harus berbuat apa lagi terpaksa mengakui hal tersebut kepada Dido. Dido sudah menyangka hal ini pasti terjadi, dia sudah mengira tidak mungkin aku menjauhinya jika tidak ada “teman spesial” lain. Aku meminta maaf kepada Dido karena telah menjauhinya dan melanggar janji kami.
“Kan sudah aku bilang jangan pacaran dulu, gini kan jadinya!” itu adalah kata-kata yang pertama kali Dido ucapkan, layaknya seorang kakak memarahi adiknya. Aku tidak sakit hati mendengar ucapannya. Dido begitu karna dia perduli kepadaku dan dia menyayangiku layaknya seorang adik sekaligus sahabatnya.
Semenjak saat itu, tidak ada lagi yang aku rahasiakan kepada Dido, begitupun sebaliknya. Tak ada percintaan dalam hidupku sebelum aku menyelesaikan studi sesuai perjanjian kami. Bisa dibilang, kami berdua memegang predikat jomblo. Dia pernah bercerita bahwa ada seorang perempuan yang nekad menyatakan cinta dan Dido menolaknya karna ia menjaga 1 komitmen. Aku sangat bangga mempunyai sahabat seperti dia.
Kehidupan persahabatan kami terus berlangsung. Aku dan Dido masuk ke Universitas yang sama tetapi beda jurusan. Aku sering mengeluh kepada Dido mengenai tugas-tugas dan ujianku di kampus. Terlebih lagi aku yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah tetap bersikeras untuk masuk jurusan Teknik walaupun kadang-kadang ada beberapa praktek yang menguras habis stamina dan membuat fisikku drop.
Beruntungnya aku memiliki seorang sahabat seperti Dido. Dia  yang selalu menyemangati hari-hariku. “Kamu yang sabar yang kuat ya, aku bakal dampingi kamu sampai toga ada di atas kepala kita dan aku akan duduk di sebelah kamu. I am promise!” adalah kata-kata Dido yang berulang-ulang ia ucapkan untuk menyemangati aku.
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun kami lewati. Hingga pada akhirnya masuk tahun ke empat di mana tahun itu adalah tahun untuk kami menyelesaikan studi Strata-1 dan sebentar lagi kami akan wisuda. Aku dan Dido sangat menanti-nantikan tahun itu sehingga kami semangat untuk segera menyelesaikan Kerja Praktek dan Tugas Akhir.
Semua tugas telah terselesaikan tepat waktu dan tinggal menunggu upacara wisuda. Tetapi sebulan sebelum menjelang upacara wisuda, Dido memberitahuku bahwa ia harus ke Jakarta untuk memenuhi panggilan kerja di suatu perusahaan asing. Dengan berat hati aku melepas kepergian Dido, walaupun hanya dalam waktu 1 minggu. Kami tidak pernah berpisah jarak lebih dari 3 hari.
Seminggu telah berlalu dan aku menunggu kepulangan Dido ke Yogyakarta. Aku ingin mendengar ceritanya ketika ia berada di Jakarta dan apa saja pengalaman yang ia dapatkan. Sebenarnya bukan itu saja, aku menunggu Dido karena aku merindukannya, merindukan sahabat kecilku.
Siang telah berganti malam dan Dido belum juga memberiku kabar. Seharusnya dia sudah sampai sejak siang tadi. Aku terus memegang handphone untuk menanyakan kabarnya. Lalu beberapa saat kemudian, handphone-ku berdering dan panggilan yang masuk itu bukan dari Dido tetapi dari ibunya.
Ibunya memberitahuku bahwa Dido mengalami kecelakaan di Bandung ketika menuju Yogyakarta karna ia menggunakan jalur darat. Aku terbungkam dan tak bisa berkata apa-apa. Aku beserta orang tuaku memesan tiket malam itu juga dan langsung berangkat ke Bandung. Aku tidak dapat menahan air mata dan perasaanku bercampur aduk.
Seketika tiba di Rumah Sakit, semua keluarga sudah berkumpul dan banyak yang menangis. Ibu Dido terlihat lemas dan tidak dapat berdiri. Apa yang terjadi? Aku langsung masuk ke ruang ICU, ruang yang menangani Dido dan aku sudah melihat dia terbaring tanpa hembusan napas lagi.
Aku merasa dunia seakan berhenti berputar. Mengapa Dido pergi secepat ini? Dia sudah berjanji akan mendampingiku dan duduk di sampingku ketika toga ada di kepala kami. Itu tinggal beberapa minggu lagi. Dido tolong pulang, wisuda kita sudah di depan mata. Aku cuma mau kamu yang duduk di sampingku nanti.
Hari yang kami tunggu-tunggu pun tiba. Aku memakai rapi semua pakaianku layaknya seseorang yang akan di wisuda. Tetapi yang pasti, tak ada Dido di sampingku dan mengisi hari-hariku lagi. Aku ditemani kedua orang tuaku dan kedua orang tua Dido. Aku sedih karna tidak bisa menikmati kebahagiaan ini bersama dia.
Seusai acara, ibu Dido memberikan sepucuk surat yang katanya tergeletak di tempat tidur Mido. Isi suratnya “Happy Graduations, Mega. Sekarang kita udah wisuda dan sekarang kita udah boleh melepas masa-masa jomblo kita. Makasih ya karna kamu udah nepatin janji dan sekarang waktunya buat aku ngungkapin perasaan aku ke kamu. Sebenarnya, aku sayang banget sama kamu, aku pengen kita lebih dari sepasang sahabat. Tapi aku gak maksa buat bisa lebih, aku harap kamu gak berubah ya. Maaf, aku cuma berani ngungkapin lewat surat. Sekali lagi, Happy graduations and I love you. DIDO”
Mungkin itu adalah surat cinta dari Dido untukku yang belum tersampaikan. Aku sedih karna aku tak bisa lagi melihat senyumnya, bercanda gurau dengannya, tetapi aku yakin Dido bahagia di sana. Rezeki, jodoh, dan maut semua sudah di atur Tuhan hingga indah pada waktunya. Aku yakin itu. Untuk sahabat kecilku, terima kasih sudah menemaniku selama ini dan sudah memberikanku cinta dari seorang sahabat. Dido, aku merindukanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar